Masa Depan Republik Sahrawi di Tengah Isolasi
Republik Arab Sahrawi Demokratik atau Sahrawi Arab Democratic Republic (SADR) kembali menjadi sorotan setelah langkah kontroversial Amerika Serikat di era Donald Trump yang mengakui Sahara Barat sebagai bagian sah dari Maroko. Pengakuan itu diberikan sebagai imbalan atas normalisasi hubungan diplomatik Maroko dengan Israel pada Desember 2020, sebuah keputusan yang mengguncang peta geopolitik Afrika Utara dan Timur Tengah. Sejak saat itu, posisi SADR di kancah internasional kian terpinggirkan, meski masih mendapat sokongan kuat dari Uni Afrika.
Ibukota Republik Sahrawi berada di Laayoune, kota terbesar di Sahara Barat yang saat ini dikendalikan de facto oleh Maroko. Karena kondisi itu, pemerintahan SADR menjalankan aktivitas administratifnya dari kamp pengungsi di Tindouf, Aljazair barat daya. Wilayah kamp ini menjadi pusat aktivitas politik dan pemerintahan SADR sekaligus lokasi pengungsian ribuan rakyat Sahrawi sejak meletusnya konflik dengan Maroko pada 1975.
Presiden Republik Sahrawi saat ini adalah Brahim Ghali, tokoh veteran Front Polisario yang memimpin sejak 2016 menggantikan almarhum Mohamed Abdelaziz. Di bawah kepemimpinannya, SADR berupaya menjaga eksistensi di panggung diplomatik internasional meski semakin terisolasi akibat tekanan politik Maroko dan sekutunya. Jabatan perdana menteri sendiri dipegang oleh Bouchraya Hamoudi Bayoun sejak 2020.
Populasi warga Sahrawi di wilayah sengketa diperkirakan mencapai sekitar 500.000 jiwa, dengan sekitar 175.000 di antaranya hidup di kamp pengungsi Tindouf, Aljazair. Sementara di Laayoune dan wilayah Sahara Barat lainnya, ribuan warga Sahrawi hidup di bawah otoritas Maroko, di tengah ketegangan politik dan pembatasan kebebasan berekspresi yang ketat.
Dari sisi anggaran, SADR tidak memiliki annual budget formal seperti negara berdaulat pada umumnya. Operasional pemerintahan dan logistik sehari-hari bergantung pada bantuan kemanusiaan dari Aljazair, berbagai LSM internasional, dan kontribusi dari diaspora Sahrawi di luar negeri. Bantuan tersebut mencakup suplai pangan, layanan kesehatan, pendidikan dasar, serta logistik pertahanan bagi Front Polisario.
Meski diisolasi oleh banyak negara Arab akibat normalisasi Maroko dengan Israel, Republik Sahrawi tetap aktif di Uni Afrika. SADR adalah anggota penuh dan pendiri organisasi tersebut sejak 1984. Bahkan, keanggotaan SADR sempat menjadi alasan utama Maroko menarik diri dari Uni Afrika selama lebih dari tiga dekade sebelum kembali bergabung pada 2017.
Namun, berbeda dengan keanggotaannya di Uni Afrika, SADR hingga kini belum diterima sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) maupun Liga Arab. Kebijakan mayoritas negara anggota OKI dan Liga Arab yang berpihak pada kedaulatan Maroko atas Sahara Barat menjadi hambatan politik bagi SADR untuk diterima di dua organisasi besar dunia Islam tersebut.
Kondisi ini membuat masa depan Republik Sahrawi semakin sulit diprediksi. Di satu sisi, mereka tetap bertahan lewat jaringan diplomatik di Afrika dan Amerika Latin, sementara di sisi lain tekanan politik dari blok pro-Maroko makin kuat. Pasca pengakuan AS di bawah Trump, beberapa negara kecil pun mulai menarik pengakuan diplomatik terhadap SADR.
Namun di lingkup Uni Afrika, posisi Republik Sahrawi masih cukup solid. Pada pembukaan Sidang ke-50 Komite Perwakilan Tetap Uni Afrika di Addis Ababa, Ethiopia, perwakilan SADR hadir aktif membahas isu dekolonisasi dan integrasi regional. Kehadiran itu menegaskan komitmen SADR terhadap persatuan dan integritas Benua Afrika, meskipun status kenegaraan mereka masih disengketakan.
SADR juga terlibat dalam agenda strategis Uni Afrika, termasuk isu keadilan, pembangunan berkelanjutan, dan keamanan kawasan Sahara-Sahel. Dalam forum tersebut, Republik Sahrawi kerap menyerukan pentingnya penyelesaian damai berbasis referendum penentuan nasib sendiri, sesuai mandat PBB yang telah lama tertunda.
Referendum yang dijanjikan sejak 1991 dalam kerangka misi MINURSO (United Nations Mission for the Referendum in Western Sahara) hingga kini belum pernah terlaksana akibat kebuntuan politik antara Maroko dan Front Polisario. SADR tetap menuntut hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Sahara Barat, sementara Maroko menolak opsi kemerdekaan.
Isu ini makin rumit setelah masuknya kepentingan geopolitik negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat, Israel, dan negara-negara Teluk yang mendukung posisi Maroko. Bahkan, sejumlah negara Arab dan Afrika mulai membuka konsulat kehormatan di Laayoune dan Dakhla sebagai bentuk pengakuan de facto atas kedaulatan Maroko di Sahara Barat.
Di sisi lain, Republik Sahrawi berupaya memperkuat hubungan dengan negara-negara nonblok dan beberapa negara Amerika Latin seperti Bolivia, Venezuela, dan Meksiko. Mereka juga menjalin komunikasi intensif dengan Aljazair, Afrika Selatan, dan Nigeria yang selama ini konsisten mendukung kemerdekaan Sahara Barat.
Masa depan Republik Sahrawi diyakini akan terus ditentukan oleh keseimbangan politik di Afrika Utara dan dukungan Uni Afrika. Jika tekanan politik terhadap referendum terus berlanjut, SADR kemungkinan akan tetap mempertahankan status quo sebagai pemerintahan di pengasingan yang didukung sebagian negara Afrika dan Amerika Latin.
Namun, jika konstelasi geopolitik berubah dan PBB kembali memprioritaskan isu Sahara Barat, peluang referendum bisa terbuka kembali. Dalam jangka pendek, Republik Sahrawi tampaknya akan terus memperkuat eksistensi diplomatik di lingkup Uni Afrika sambil mencari dukungan politik baru di luar blok Arab.
Konflik berkepanjangan di Sahara Barat menjadi satu dari sedikit isu kolonialisme yang belum selesai di Afrika modern. Meski dihadang berbagai tantangan, Republik Sahrawi masih percaya bahwa perjuangan politik dan diplomasi bisa membawa mereka pada kemerdekaan penuh di masa depan.
Status diplomatik Republik Arab Sahrawi Demokratik (SADR) memang dinamis karena fluktuasi politik global, tapi secara umum, jumlah negara yang pernah mengakui SADR sejak proklamasinya pada 27 Februari 1976 mencapai sekitar 84 negara sepanjang sejarahnya.
Namun, penting dicatat:
- Saat ini sekitar 40-an negara masih mempertahankan pengakuan aktif terhadap Republik Sahrawi.
- Sebagian negara yang dulu mengakui, kemudian membekukan atau menarik pengakuan mereka, khususnya setelah normalisasi hubungan dengan Maroko, atau karena tekanan diplomatik dan ekonomi.
- Negara-negara yang masih aktif mendukung dan mengakui SADR termasuk:
- Aljazair
- Afrika Selatan
- Nigeria
- Mozambik
- Venezuela
- Kuba
- Bolivia
- Uganda
- Timor Leste
serta beberapa negara di Afrika Sub-Sahara dan Amerika Latin.
Di level organisasi:
- Uni Afrika (AU) tetap mempertahankan keanggotaan penuh SADR sejak 1984, meskipun Maroko sempat keluar dari organisasi itu selama lebih dari 30 tahun karena keanggotaan SADR, sebelum akhirnya Maroko bergabung kembali pada 2017 tanpa bisa mencegah keberadaan SADR di AU.
Sedangkan di PBB, Republik Sahrawi belum diakui sebagai negara anggota penuh, namun tercatat sebagai pihak dalam proses penyelesaian konflik Sahara Barat di bawah resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB.
Tidak ada komentar
Posting Komentar